"Pharmacy : The
art or profession of preparing and preserving drugs, and of compounding and dispensing medication
according to the prescriptions of physicians.”~
Early 20th
Century Webster Dictionary
PERKEMBANGAN
KEFARMASIAN
#Heath For All
Perkembangan farmasi sangat dipengaruhi oleh
perkembangan orientasi di bidang kesehatan.
“World Health Organization” (WHO) tahun 80-an
mencanangkan semboyan “Health for All by the year 2000”, yang merupakan
tujuan sekaligus proses melibatkan seluruh negara untuk meningkatkan derajat
kesehatan masyarakatnya, suatu derajat kesehatan yang memungkinkan seluruh
anggota masyarakat memperoleh kehidupan yang produktif secara sosial maupun
ekonomis.
#
Primary Health Care
“Health for All by the year 2000”, dirumuskan
melalui suatu konsep bernama “Primary Health Care” dalam
konperensi internasional di Alma Atta 1978, sehingga konsep itu dikenal dengan
nama Deklarasi Alma Atta.
Deklarasi ini merupakan kunci dalam pencapaian
tujuan pengembangan sosio-ekonomi masyarakat dengan semangat persamaan hak dan
keadilan sosial.
#
Paradigma Sehat
Perkembangan terakhir pengembangan di bidang
kesehatan pada milenium baru ini ialah konsep “Paradigma Sehat”. Paradigma
sehat, bukan paradigma sakit, berorientasi pada bagaimana mempertahankan
keadaan sehat, bukan menekankan pada manusia sakit yang sudah menjadi tugas
rutin bidang kesehatan.
Jadi jelas perkembangan farmasi yang menjadi bagian
dari bidang kesehatan, juga harus mengikuti perkembangan yang terjadi di bidang
kesehatan.
Salah satu perwujudan dari paradigma sehat adalah
wacana perubahan Rumah Sakit menjadi Rumah Sehat. Sebagai
ilustrasi sederhana mari kita cermati mengapa orang-orang Indonesia yang
memiliki kemampuan financial lumayan kuat, lebih memilih berobat itu ke
hospital-hospital di Singapura atau Malaysia? Dan mengapa tidak ke Rumah-Rumah
Sakit Canggih di Indonesia? Rumah sakit di Indonesia bukannya kalah canggih
atau kalah modern. Tetapi ini kembali pada paradigma yang digunakan.
Hospitality dalam bahasa Inggris
artinya keramahtamahan, dan paradigma keramahtamahan inilah yang diterjemahkan
menjadi Hospital, sehingga bukan hanya tenaga medis, paramedis, tenaga
administrasi, bahkan security pun di
sana menerapkan paradigma sehat dengan memberikan keramah-tamahan ini dalam
melayani pasen yang berobat ke Hospital di sana. Sampai-sampai ada
pelayanan purna jual, bahkan setelah pasennya kembali lagi ke Indonesia untuk
menannyakan keadaannya kembali setelah pengobatan di Hospital tersebut,
apakah pernah ada, Rumah Sakit di Indonesia yang memberi ucapan ulang tahun
kepada setiap pasen yang berobat bahkan menanyakan bagaimana keadaan
kesehatannya setelah berobat? Mudah-mudahan segera ada jawaban yang
membuktikannya. Inilah perubahan pardigma sehat yang harus digulirkan sekarang
ini, ingat, kesehatan adalah hak dasar setiap manusia. Bukannya orang yang
sehat malah tambah sakit setelah berobat ke Rumah Sakit. sungguh ironis.
#
Pergeseran Paradigma Praktek Kefarmasian
Telah
terjadi perubahan paradigma farmasi yang mendasar dalam dekade terkahir, yaitu
perubahan paradigma dari product oriented menjadi patient
oriented. Tuntutan pada paradigma patient oriented, farmasis
tidak hanya berorientasi hanya kepada produk, namun juga dituntut untuk
berorientasi kepada pasien, sehingga diharapkan farmasis dapat memberikan
kontribusi keilmuannya secara aktif dalam
meningkatkan kualitas hidup pasien. Secara historis, perkembangan
farmasi global melalui tahapan-tahapan periode.
Tahap tradisional terjadi
sebelum tahun 1940-an dimana fungsi dan peranan farmasis hanya berorientasi
kepada produk, seperti kegiatan menyediakan, membuat dan mendistribusikan obat.
Kegiatan ini menekankan pada ilmu dan seni meracik obat dalam skala kecil untuk
kebutuhan pengobatan di rumah sakit ataupun di komunitas.Tahap
ini mulai goyah ketika mulai berkembangnya farmasi industri yang memproduksi
obat dalam skala besar. Periode tersebut terjadi sekitar tahun 1940-an, dimana
peresepan tidak lagi menekankan pada obat-obatan yang membutuhkan peracikan,
namun peresapan berisikan obat-obatan dalam sediaan jadi yang diproduksi oleh
industri farmasi dalam skala besar.
Semakin
berkembangnya ilmu kedokteran pada tahun 1960 hingga 1970-an ditandai dengan
mulai bermunculan berbagai jenis obat-obatan baru serta berkembangnya metode
dan alat-alat diagnosa yang baru sehingga menimbulkan permasalahan-permasalahan
baru dalam proses penggunaan obat. Hal tersebut memunculkan tahapan
transisional, dimana tuntutan terhadap kontribusi farmasis dalam dunia
kesehatan semakin tinggi. Pada masa tersebut banyak kalangan memandang bahwa
peran farmasis tidak difungsikan sebagaimana kompetensi yang dimilikinya,
sehingga di Amerika dan Inggris pada tahun 1960-an muncul istilah farmasi
klinik.
Sebuah kesepakatan
terhadap penjaminan kualitas dan keamanan produk obat untuk melindungi pasien
telah ditandatangani bersama oleh FIP dan Federasi asosiasi perusahan
farmasi internasional pada tahun 2000. Tujuan umumnya adalah melindungi
kehidupan pasien di seluruh bagian dunia dengan menjamin bahwa seluruh produk
obat memiliki kualitas yang baik dan terbukti aman dan berkhasiat. Industri
farmasi dan profesi farmasi tersebut juga memahami kebutuhan terhadap suatu
regulator dan lingkungan pemasaran yang mendorong investasi dalam obat-obat
inovatif baru dan memungkinkan pengenalannya yang tepat waktu dan
ketersediaannya bagi pasien di seluruh dunia.
Tantangan utama
lainnya adalah memastikan bahwa obat digunakan secara rasional. Ini memerlukan
bahwa pasien menerima pengobatan yang tepat sesuai dengan kebutuhan klinisnya,
dalam dosis yang sesuai dengan kebutuhan individunya untuk jangka waktu yang
tepat, dan dengan biaya yang terendah untuk mereka dan komunitasnya.
Periode awal famasi
klinik ditunjukkan dengan adanya farmasis yang mulai mengembangkan
fungsi-fungsi baru dan mencoba menerapkannya, sebagai contoh adalah dimulainya
kegiatan farmasis bangsal yang menempatkan farmasis di bangsal-bangsal rawat
inap untuk memberikan kontribusi keilmuannya dalam rangka meningkatkan kualitas
hidup pasien, meskipun kontribusi tersebut masih dirasakan terbatas. Penerapan
fungsi-fungsi baru pada masa itu bukanlah tanpa kendala, kendala yang ditemui
diantaranya adalah banyaknya pertentangan dari dokter, perawat dan farmasis,
namun terdapat pula faksi-faksi yang mendukung fungsi-fungsi baru tersebut
untuk terus dilakukan dan dikembanngkan. (Jayadi Irwanto , dkk, 2014)
Kegigihan dan
semangat untuk menjawab tuntutan berbagai kalangan mengenai peran farmasis
ditunjukkan dari masa ke masa, sehingga lahirlah periode Pharmaceutical
care dimana clinical pharmacy services diberikan
dengan semakin baik dan paripurna.
Gambar 2: Mahasiswa farmasi akrab dengan aktivitas laboratorium |
Periode Pharmaceutical
Care ditunjukkan dengan berkembangnya pendidikan tinggi farmasi yang
berbasiskan farmasi klinik. Hal tersebut ditandai dengan munculnya pendidikan
farmasi klinik yang sifatnya spesialistik, contohnya farmasi klinik
spesialis penyakit infeksi, kardiologi, onkologi, pelayanan informasi obat dan
lain lain.
Kehadiran farmasis berkeahlian klinik di negara-negara
maju makin dirasakan sangat penting, mengingat makin berkembangnya ilmu
pengetahuan dan teknologi dibidang kesehatan. Penanganan pasien dilakukan
melalui sebuah tim multi profesi kesehatan yang meliputi, dokter, farmasis,
perawat dan tenaga kesehatan lainnya . Adanya sinergi keilmuan lintas profesi
yang baik diantara profesi kesehatan dalam penanganan pasien, akan memberikan
dampak yang baik bagi outcome clinic pasien yang ditanganinya.
# Health Service
Kini sesuai perkembangannya farmasi sudah bergerak
kea arah yang lebih tertuju pada manusia atau aspek klinik. The American Society of Colleges of Pharmacy
(AACP) mendefinisikan farmasi sebagai :”suatu sistem pengetahuan (knowledge system) yang merupakan bagian
dari pelayanan kesehatan (health service)” . Area pelayanan
merupakan subsistem kesehatan yang tidak mungkin dilepaskan dari peran farmasi
sebagai profesi.
# Filsafat Farmasi
& Sejarah Profesi Farmasi
Dari kajian filsafat Farmasi sebagai Profesi : bahwa
di samping sebagai Ilmu atau Sains, Farmasi
meliputi pula pelayanan obat secara profesional. Menurut Schein, F.H. (Gennaro, 1990) :…The profession are a
set of occupation that have developed a very special set or norms deriving from
their special role in society .
Menilik sejarah farmasi ternyata memberikan dimensi lain yang sedikit
berbeda.
Terlihat dalam gambar bahwa pilar keilmuan farmasi
begitu pesat perkembangannya dan berujung pada penjaminan kualitas drug terapi
pada manusia (aspek klinis) namun tetap disupport oleh sains & teknologi
farmasi, farmakokimia dan juga farmakologi.
Kelima pilar dasar keilmuan farmasi
ini semakin diperkokoh dengan fondasi ilmu dasar & humaniora meliputi
Matematika (pemastiana hitungan dosis dan takaran), Fisika (fenomena stabilitas
sediaan farmasi), Kimia (entitas senyawa obat sebagai substansi kimiawi),
Biologi (bahwa target kerja obat ada pada organism hidup) dan juga Bahasa
(komunikasi dan interaksi antar sesama).
Dari rangkaian sejarah ini, tidak
dapat dipungkiri bahwa seluruh upaya pembuatan dan penjaminan mutu obat harus
berujung pada penjaminan khasiat, keamanan dan kualitasnya pada target kerjanya
yaitu manusia (aspek klinis) dan juga hewan yang membutuhkan pengobatan
tentunya.
Gambar 3: Sejarah perkembangan kefarmasian |
PENGERTIAN DASAR PROFESI & TENAGA FARMASI
Beberapa pengertian dasar telah ditetapkan dalam
regulasi, terutama UU nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, Peraturan
Pemerintah nomor 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian dan Standar Kefarmasian,
Kepmenkes, dan regulasi terkait.
Praktek Kefarmasian/Pekerjaan
Kefarmasian adalah
Profesi adalah
bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian tertentu.
Apoteker
adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah
mengucapkan sumpah jabatan apoteker.
Tenaga
teknis kefarmasian adalah tenaga yang membantu apoteker dalam menjalani
pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas sarjana farmasi, ahli madya farmasi,
analis farmasi dan tenaga menengah farmasi / asisten apoteker.
Strandar
profesi adalah pedoman untuk menjalankan praktik profesi kefarmasian secara baik.
Profesional adalah orang yang memiliki
pekerjaan berdasarkan keahlian yang memenuhi persyaratan keilmuan dan kemampuan
di bidang profesinya.
Profesionalisme adalah perwujudan aktif dari tindakan suatu keahlian.
Profesi Apoteker berdasarkan Federasi Farmsis
Se-dunia (FIP) : Profesi
Apoteker Adalah Kemauan Individu Apoteker Untuk Melakukan Praktek Kefarmasian
Sesuai Syarat Legal Yang Berlaku Serta Memenuhi Syarat Kompetensi Apoteker Dan
Etik Kefarmasian.
Dari
pengertian-pengertian di atas, munculah pemahaman, seorang ahli farmasi atau
tenaga kefarmasian selain mengantongi ijazah apoteker dan naskah sumpahnya,
juga haruslah bekerja professional dan kompeten dengan selalu menggunakan standar
profesi ditandai dengan memiliki sertifikat kompetensi.
Berpraktek secara
legal menggunakan standar kefarmasian dengan memiliki Surat Tanda Registrasi
Apoteker (STRA), selanjutnya Surat Ijin Praktek Apoteker (SIPA) bagi yang
berpraktek di Fasilitas Pelayanan dan Surat Ijin Kerja Apoteker (SIKA) untuk
yang berpraktek di Fasilitas Produksi dan Distrubusi. Dalam menjalankan praktek
profesinya, seorang farmasis haruslah menjalankannya dengan penuh
profesionalisme, yaitu wujud perilaku dan sepak terjang yang mencerminkan
keahlian dan kinerja yang layak diandalkan dan dipercaya.
Keahlian
Farmasi
Keahlian Farmasi
dapat digambarakan sebagai “two in one “ hibrida keahlian meliputi (1) Keahlian
tentang obat mulai dari bahan baku sampai menjadi sediaan farmasi yang memenuhi
persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan juga mutu; dan (2) Keahlian
memandu (guidance-counseling-advocate) penggunaan obat yang benar dan
baik oleh penderita sehingga tujuan terapi tercapai secara digambarkan bahwa
Keahlian Farmasi adalah Sebagai Medicines
Expert dan Medicines Best Used Manager. Bila diilustrasikan tak ubahnya
keahlian ini mirip dengan seorang “fashion designer”.
Saat bertemu
klien, seorang designer tentu akan menggali banyak hal tentang kebutuhan
kliennya ini, kemudian membuat pola, mencarikan bahan yang sesuai kebutuhan,
membuatkannya dan kemudian menerangkan kegunaan, cara memakainya, cara
menyimpannya dan perhatian-perhatian seputar kegunaannya agar maksimal sisi
kemanfaatannya dan terhindar dari penggunaan yang salah.
Gambar 4: Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Mahasiswa Pendidikan Profesi Apoteker STFB |
Ciri-ciri
Profesi
- Memiliki tubuh pengetahuan yang berbatas jelas
- Pendidikan khusus berbasis “keahlian” pada jenjang pendidikan tinggi
- Memberi pelayanan kepada masyarakat, praktek dalam bidang keprofesian
- Memiliki perhimpunan dalam bidang keprofesian yang bersifat otonom
- Memberlakukan kode etik keprofesian
- Memiliki motivasi altruistik (mementingkan orang lain) dalam memberikan pelayanan
- Proses pembelajaran seumur hidup
- Mendapat jasa profesi
CIRI PROFESI ini digambarkan secara apik
oleh Brandeis Louis sebagai“Pekerjaan Yang Pada Awalnya Memerlukan Pelatihan Yang Sifatnya Harus
Intelektual, Yang Menyangkut Pengetahuan Sampai Tahap Kesarjanaan, Yang Berbeda
Dari Sekedar Keahlian, Dikerjakan Sebagian Besar Untuk Orang Lain, Dan Bukan
Untuk Diri Sendiri, Dan Uang Tidak Diterima Sebagai Ukuran Keberhasilan” (Brandeis Louis, Bisnis- A Profession, Boston
: Hale, Caushman , and Flint, 1933).
Profesi mempunyai
keahlian atas dasar teoritis dan ilmiah (misalnya : penyakit
tertentu disebabkan karena suatu hal dan dapat disembuhkan, dikurangi, atau
dicegah dng. Cara tertentu berdasarkan teori dan data empiris). Tanpa dasar
itu, keahlian profesional tidak akan
berarti. Keahlian profesi bukan ketrampilan yang berkembang.
Profesional
adalah pribadi yang “berikrar/berjanji” di muka umum (bahkan di hadapan Allah
SWT). Peningkatan profesional keahliannya didasarkan untuk kepentingan klien (ethical clearance). Landasan
otoritas keahlian untuk pekerjaan profesionalnya digunakan untuk melakukan praktek yang didasarkan kepentingan klien (misal
: “dispensing” obat keras tanpa resep). Ketika klien tidak dapat mengetahui bentuk/jenis keahlian yang akan dilaksanakan oleh
profesional untuk diri mereka, mereka hanya dapat membangun harapan. Akibatnya,
keahlian dapat mengikis harapan klien terhadap praktisi profesional, jika
dilandasi hanya dengan keahlian tanpa niat baik untuk klien (tanpa sifat
altruistik). Keahlian (tanpa altruistik) dapat meniadakan/mengurangi arti ikatan
organik (ikatan organik = menjadi anggota karena ikatan pelayanan profesional)
contoh apoteker homecare spesialisasi keluarga merupakan upaya memperkuat profesionalitas.
Apakah
etika, dan apakah etika profesi
itu?
Kata etik (atau etika)
berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti karakter, watak
kesusilaan atau adat.. Sebagai suatu subyek, etika akan berkaitan dengan konsep
yang dimiliki oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakah
tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau
baik.
Etika akan memberikan
semacam batasan maupun standar yang akan mengatur pergaulan manusia di dalam
kelompok sosialnya.
Dalam pengertiannya yang
secara khusus dikaitkan dengan seni pergaulan manusia, etika ini kemudian
dirupakan dalam bentuk aturan (code) tertulis yang secara sistematik
sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada.
Pada saat yang dibutuhkan
akan bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang
secara logika-rasional umum (common sense) dinilai menyimpang dari kode
etik.
Dengan demikian etika
adalah refleksi dari apa yang disebut dengan “self control” karena
segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok
sosial (profesi) itu sendiri.
Oleh karena itu : sebuah
profesi hanya dapat memperoleh kepercayaan dari masyarakat, bilamana dalam diri
para elit profesional tersebut ada kesadaran kuat untuk mengindahkan etika
profesi pada saat mereka ingin memberikan jasa keahlian profesi kepada
masyarakat yang memerlukannya.
Referensi:
- World Health Organization (WHO), 2006, Developing pharmacy practice “A focus on patient care”, Department of Medicines Policy and Standards Geneva, Switzerland In collaboration with International Pharmaceutical Federation The Hague, The Netherlands.
- Undang-undang kesehatan Nomor 36 tahun 2009, cetakan ke empat; Jakarta
- Peraturan pemerintah RI Nomor 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.
- Deno, R.A., et.al., 1959, The Profession of Pharmacy: An Introductory Text Book, J.B Lippincot, Motreal, Philadelpia,
- Irawanto, Jayadi, dkk, 2014, Pharmaceutical Care Dalam Praktek Farmasi Klinik Sebagai Perubahan Paradigma Kefarmasian, UMM, Malang.
(~dedendinata)