Selasa, 06 September 2011

Sang Ibu

Polos nan lugu. Itulah kesanku pa sosok sang Ibu ini.

Audzu billahi minas syaithoonirrojiim, bismillahirahmaanirrahim...suaranya lirih...sepanjang malam ia habiskan untuk membaca quran, terus dan terus ia lakukan hingga mataku pun terlelap tanpa sadar. kuterbangun lagi, ia pun masih meneruskan bacaannya...subhanallah, pikirku, sungguh contoh yang baik...semoga Allah melindungimu...

esok hari, di tengah hari kulihat lagi, ia duduk di depan qurannya yang sudah lusuh...kembali terdengar suara lirihnya membaca ayat-ayat al-quran...suaranya kini tampak lebih jelas, terbata-bata...

ba'da Ashar, kembali kumelihat ia pun masih melantunkan ayat-ayat suci itu dengan suara khasnya...tidakkah ia melakoni hidupnya yang lain? pikirku penuh keingintahuan...

sesekali ia tersenyum, dan terdiam sambil kembali melanjutkan bacaannya...suatu saat kusampai juga di akhir bacaannya, lalu ia pun mengambil air wudhu, dan shalat pada waktunya...lama ia terdiam di kamarnya...lalu setengah jam berselang...iapun keluar lagi dan kembali membawa qurannya itu...subhananallah...

kutanyakan, mengapa ia lakukan itu terus menerus??...anaknya yang perempuan menjawab..."ia sudah seminggu ini tak dapat tidur, memejamkan matanya, meski sekedar melepas lelah..namun ia tidak pernah bisa tertidur..."

kenapa bisa begitu?? tanyaku, "hmmmmh...ini kan musim liburan, dokter, apotek, puskesmas, atau rumah sakit rata-rata sedang tidak bertugas...Ibu sudah kehabisan obat...lanjut anaknya lagi...

lalu, kalau sudah ada obatnya apakah ia bisa tertidur...??? "ya, jika obatnya ada baru ia bisa tertidur".

sudah berapa lama Ibu, menderita seperti ini?? "sudah 28 tahun"

masya Allah...

(bersambung)

Selasa, 23 Agustus 2011

DAMAI DENGAN DIRI SENDIRI


Islam mengajarkan kedamaian. Damai membawa pada kesejukkan kehidupan. Namun seseorang tidak mungkin dapat menebarkan kedamaian kepada orang lain jika dirinya sendiri tidaklah damai. Boleh jadi ada seseorang yang menginginkan sesuatu di luar kenyataan hidupnya. Seseorang seringkali menginginkan sesuatu yang tidak menjadi miliknya.

Duhai, alangka indahnya jika saja aku tidak memilih jalan ini, tentu tidak akan menjadi sesulit ini…seorang mahasiswa juga sangat mungkin berkata, seandainya aku mengambil fakultas ‘anu’ dan tidak menjadi mahasiswa di fakultas ini, tentu aku akan lebih sukses…seorang PNS juga bisa jadi mengandai-andaikan mendapatkan kesenangan di luar kepegawaiannya…padahal semua itu di luar kenyataannya. Bagaimana mungkin orang seperti ini damai dengan dirinya sendiri. Orang-orang seperti ini adalah orang-orang yang tidak damai dengan dirinya sendiri. Semua ini adalah karena dorongan nafsu. Nafsu manusia memang mendorong seseorang untuk berandai-andai. Menginginkan sesuatu yang bukan menjadi miliknya dan tidak menerima apa yang menjadi kenyataan hidupnya.

Seorang yang sakit gigi, meringis kesakitan dan bahkan ia dengan marahnya membenturkan kepalanya ke dinding. Seseorang yang tidak menerima kenyataan dan kepahitan yang menimpa dirinya, merasa dirinya paling menderita dan berusaha untuk membunuh dirinya…orang-orang seperti ini adalah orang-orang yang tidak berdamai dengan dirinya sendiri.

Pertanyaannya, lalu bagaimana agar bisa berdamai dengan diri sendiri???

Al-quran mengajarkan, bahwa kedamaian seseorang berawal dari penerimaan dirinya. “Katakanlah: "Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu kebenaran (Al Qur'an) dari Tuhanmu, sebab itu barang siapa yang mendapat petunjuk maka sesungguhnya (petunjuk itu) untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan barang siapa yang sesat, maka sesungguhnya kesesatannya itu mencelakakan dirinya sendiri. Dan aku bukanlah seorang penjaga terhadap dirimu". (Q.S Yunus, 108).

Bagaimana caranya bisa berdamai dengan diri sendiri.

Pertama, tidaklah mungkin kedamaian akan muncul dalam diri seseorang jika saja dirinya selalu menginginkan apa yang bukan di luar kuasanya, bukan menjadi miliknya, padahal ia juga mengetahui itu di luar kemampuannya. Maka mulailah untuk menerima kenyataan yang menghampiri diri, dan segera menghilangkan segala penolakan terhadap kenyataan tidak memiliki sesuatu yang diinginkan.

Kedua, berpuasa hati. Inilah resep untuk mengendalikan angan-angan dan keinginan yang tidak pernah surut. Kata seorang bijak, tanpa puasa hati, tak mungkin seseorang bisa berdamai dengan dirinya. Islam mengajarkan qonaah, Rasulullah mencontohkan yaitu senantiasa menerima apa yang menjadi bagiannya. Hati yang berpuasa akan menghilangkan angan-angan. Ia selalu dihiasi perasaan puas dan sering berkata ‘alhamdulillah’…semakin banyak kata ‘alhamdulillah’ yang dikumandangkan semakin luas rasa penerimaan dan rasa syukur dalam dirinya. Itulah yang akan meluaskan dan melapangkan hatinya.

Puasa hati inilah yang akan mengendalikan dirinya berdamai dengan hati. Ia akan menjalani hidupnya dengan ketulusan hati. Maka berdamailah dengan hati hingga berdamai dengan diri sendiri. Jika manusia telah berdamai dengan dirinya maka, ia juga akan berdamai kepada selainnya.Ia akan menebarkan kedamaian yang tidak saja menghiasi dirinya namun juga kepada sekelilingnya. Inilah yang diajarkan rasulullah Muhammad saw. Menjadi manusia rahmatan lil alamin.Insya Allah…

(inspired by mutiara hati, rewrite by denata95)

SEKELUMIT GARAM KEHIDUPAN

PESAN GURU
(DIKUTIP DARI PESAN SANG GURU)

Seorang guru sufi mendatangi seorang muridnya ketika wajahnya belakangan ini selalu tampak murung.

“Kenapa kau selalu murung, nak? Bukankah banyak hal yang indah di dunia ini? Ke mana perginya wajah bersyukurmu?” sang Guru bertanya.

“Guru, belakangan ini hidup saya penuh masalah. Sulit bagi saya untuk tersenyum. Masalah datang seperti tak ada habis-habisnya,” jawab sang murid muda.

Sang Guru terkekeh. “Nak, ambil segelas air dan dua genggam garam. Bawalah kemari. Biar kuperbaiki suasana hatimu itu.

“Si murid pun beranjak pelan tanpa semangat. Ia laksanakan permintaan gurunya itu, lalu kembali lagi membawa gelas dan garam sebagaimana yang diminta.

“Coba ambil segenggam garam, dan masukkan ke segelas air itu,” kata Sang Guru.

“Setelah itu coba kau minum airnya sedikit.” Si murid pun melakukannya. Wajahnya kini meringis karena meminum air asin.

“Bagaimana rasanya?” tanya Sang Guru.

“Asin, dan perutku jadi mual,” jawab si murid dengan wajah yang masih meringis.

Sang Guru terkekeh-kekeh melihat wajah muridnya yang meringis keasinan.

“Sekarang kau ikut aku” Sang Guru membawa muridnya ke danau di dekat tempat mereka.

“Ambil garam yang tersisa, dan tebarkan ke danau.” Si murid menebarkan segenggam garam yang tersisa ke danau, tanpa bicara. Rasa asin di mulutnya belum hilang. Ia ingin meludahkan rasa asin dari mulutnya, tapi tak dilakukannya. Rasanya tak sopan meludah di hadapan mursyid, begitu pikirnya.

“Sekarang, coba kau minum air danau itu,” kata Sang Guru sambil mencari batu yang cukup datar untuk didudukinya, tepat di pinggir danau.

Si murid menangkupkan kedua tangannya, mengambil air danau, dan membawanya ke mulutnya lalu meneguknya. Ketika air danau yang dingin dan segar mengalir di tenggorokannya, Sang Guru bertanya kepadanya,

“Bagaimana rasanya?”

“Segar, segar sekali,” kata si murid sambil mengelap bibirnya dengan punggung tangannya. Tentu saja, danau ini berasal dari aliran sumber air di atas sana . Dan airnya mengalir menjadi sungai kecil di bawah.

Dan sudah pasti, air danau ini juga menghilangkan rasa asin yang tersisa di mulutnya.

“Terasakah rasa garam yang kau tebarkan tadi?”

“Tidak sama sekali,” kata si murid sambil mengambil air dan meminumnya lagi. Sang Guru hanya tersenyum memperhatikannya, membiarkan muridnya itu meminum air danau sampai puas.

“Nak,” kata Sang Guru setelah muridnya selesai minum.

“ Segala masalah dalam hidup itu seperti segenggam garam. Tidak kurang, tidak lebih. Hanya segenggam garam. Banyaknya masalah dan penderitaan yang harus kau alami sepanjang kehidupanmu itu sudah dikadar oleh Allah, sesuai untuk dirimu. Jumlahnya tetap, segitu-segitu saja, tidak berkurang dan tidak bertambah. Setiap manusia yang lahir ke dunia ini pun demikian. Tidak ada satu pun manusia, walaupun dia seorang Nabi, yang bebas dari penderitaan dan masalah.”

Si murid terdiam, mendengarkan.

“Tapi Nak, rasa `asin’ dari penderitaan yang dialami itu sangat tergantung dari besarnya ‘qalbu’(hati) yang menampungnya . Jadi Nak, supaya tidak merasa menderita, berhentilah jadi gelas. Jadikan qalbu dalam dadamu itu jadi sebesar danau.”iii

Jumat, 14 Januari 2011

CERDAS MENGAMBIL HIKMAH

Bencana moral yang melanda bangsa ini, sunggguh memperihatinkan. Orang menjadi sulit membedakan mana yang baik mana yang buruk. Mana yang harus dikerjakan dan mana yang harus ditinggalkan. Terjadi kegamangan dalam system tata nilai social. Padahal, dalam sejarah bangsa ini memiliki banyak pengalaman berharga. Namun, mengapa pengalaman itu tak menjadi pelajaran bagi perbaikan bangsa ke depan? Jawabnya, karena bangsa ini kurang bisa mengambil hikmah dari setiap peristiwa mau pun pengalaman yang pernah dilalui.

Hikamah adalah kemampuan menangkap cahaya kebenaran dari setiap kajadian. Ia akan menjadi penolong masa depan, dan menjadi pegangan teguh bagi pemiliknya kelak dalam menjalani hidup. Seba, hikmah membawa pelajaran tak ternilai. Dalam memandang sesuatu, orang yang mau mengambil hikmah selalu melibatkan hati nuraninya. Mampu menilai, menimbang antara benar dan salah, baik dan buruk, mana yang bermanfaat dan mana yang tidak. Mata hatinya selalu terbuka menerima kebenaran berdasarkan kebijaksanaan hati nuraninya.

Dalam al-Quran, Allah SWT berfirman: “Allah memberikan hikmah bagi orang yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang diberi hikmah itu, berarti ia telah mendapatkan kebaikan yang banyak. Hanya orang-orang yang mau berfikir sajalah yang dapat mengambil pelajaran ini”. ( QS. Al-Baqarah, 2 : 269)
Kebaikan yang dimaksud dalam ayat di atas , sebagaimana ditulis Muhamad Abduh, adalah pelajaran dan pengalaman. Melalui ayat tersebut, Allah SWT memberikan perintah kepada kita agar selalu mencatat pelajaran sekecil apapun. Sebab, dalam setiap peristiwa, tersimpan seribu
hikmah dan kebenaran yang akan membawa kebaikan diri sendiri di kemudian hari, juga orang lain.

Sebenarnya, jika berkemauan, tidak ada yang sulit dalam menghayati sebuah pelajaran. Yang diperlukan hanya satu, membuka diri dan hati menerima pelajaran. Namun sayang, bagi banyak orang, hal itu terlalu sulit dilakukan, dengan berbagai alasan. Hikmah kemudian tak bisa diambil karena diri dan hatinya tertutup. Padahal, hikmah sebagaimana sabda Nabi adalah dhollatul mu’min (barang yang hilang dari orang mukmin), yang diperintahkan untuk menemukannya, diamanpun berada dan kapan pun.

Cerdas mengambil hikmah adalah pandai-pandainya kita mengambil ibroh(pelajaran) dari setiap pengalaman. Karena setiap kesulitas adalah bilangan pembagi kehidupan. Rasulullah selalu mengingatkan kalau manusia tidak aka nada manuisa yang hidup tanpa masalah. Justru ketika banyak masalah menghadang, dan mampu menghadapinya, ketika itulah iman seseorang muslim teruji.

Dalam sebuah Hadist, Rasulullah pernah memberikan ilustrasi hubungan antara manusia dengan cita-cita-nya, tantangan dan ajalnya. Hadist Riwayat Ibnu Mas;ud itu menyatakan : Rasulullah SAW membuat gambar segi empat, Kemudian menggambar garis lurus memanjang hingga keluar dari garis kotak segi empat, lalu Rasulullah menggambar garis-garis kecil melewati garis lurus yang memanjang di tengah kotak segi empat. Kemudian Rasulullah menjelaskan maksud gambar itu. Ini manusia, dan garis-garis persegi itu kurung ajalnya, sedangkan garis panjang yang keluar dari batas itu adalah cita-citanya. Adapun garis-garis kecil adalah tantangan atau rintangan yang selalu menghadang manusia. Apabila manusia lolos dari satu tantangan, ia akan berhadapan dengan tantangan berikutnya, dan bila ia lolos dari satu tantangan lagi, begitu seterusnya.” (Shahih al-Bukhari, darul Fikri, 1994, hlm. 260).

Jika bangsa ini yang mayoritas beragama Islam, masih menutup diri, tidak mau mengambil hikmah dan pelajaran dari pengalamannya. Kemajuan umat adalah mimpi di siang bolong. Cita-cita yang diimpikan tidak akan menjadi kenyataan bila cara menghadapi kerikil tantangannya tidak sebesar cita-cita itu. Bahkan, degradasi moral Islam, tidak akan pernah dijadikan pijakan dalam mengambil pelajaran bergharga, demi menuju masa depan Islam yang lebih cerah, karena tertutupnya pintu hikmah untuk menerima pelajaran itu. Wallahu alam.

Farmasi Sebagai Profesi

" Pharmacy : The art or profession of preparing and preserving drugs, and of compounding and dispensing medication according to the...