Selasa, 23 Agustus 2011

DAMAI DENGAN DIRI SENDIRI


Islam mengajarkan kedamaian. Damai membawa pada kesejukkan kehidupan. Namun seseorang tidak mungkin dapat menebarkan kedamaian kepada orang lain jika dirinya sendiri tidaklah damai. Boleh jadi ada seseorang yang menginginkan sesuatu di luar kenyataan hidupnya. Seseorang seringkali menginginkan sesuatu yang tidak menjadi miliknya.

Duhai, alangka indahnya jika saja aku tidak memilih jalan ini, tentu tidak akan menjadi sesulit ini…seorang mahasiswa juga sangat mungkin berkata, seandainya aku mengambil fakultas ‘anu’ dan tidak menjadi mahasiswa di fakultas ini, tentu aku akan lebih sukses…seorang PNS juga bisa jadi mengandai-andaikan mendapatkan kesenangan di luar kepegawaiannya…padahal semua itu di luar kenyataannya. Bagaimana mungkin orang seperti ini damai dengan dirinya sendiri. Orang-orang seperti ini adalah orang-orang yang tidak damai dengan dirinya sendiri. Semua ini adalah karena dorongan nafsu. Nafsu manusia memang mendorong seseorang untuk berandai-andai. Menginginkan sesuatu yang bukan menjadi miliknya dan tidak menerima apa yang menjadi kenyataan hidupnya.

Seorang yang sakit gigi, meringis kesakitan dan bahkan ia dengan marahnya membenturkan kepalanya ke dinding. Seseorang yang tidak menerima kenyataan dan kepahitan yang menimpa dirinya, merasa dirinya paling menderita dan berusaha untuk membunuh dirinya…orang-orang seperti ini adalah orang-orang yang tidak berdamai dengan dirinya sendiri.

Pertanyaannya, lalu bagaimana agar bisa berdamai dengan diri sendiri???

Al-quran mengajarkan, bahwa kedamaian seseorang berawal dari penerimaan dirinya. “Katakanlah: "Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu kebenaran (Al Qur'an) dari Tuhanmu, sebab itu barang siapa yang mendapat petunjuk maka sesungguhnya (petunjuk itu) untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan barang siapa yang sesat, maka sesungguhnya kesesatannya itu mencelakakan dirinya sendiri. Dan aku bukanlah seorang penjaga terhadap dirimu". (Q.S Yunus, 108).

Bagaimana caranya bisa berdamai dengan diri sendiri.

Pertama, tidaklah mungkin kedamaian akan muncul dalam diri seseorang jika saja dirinya selalu menginginkan apa yang bukan di luar kuasanya, bukan menjadi miliknya, padahal ia juga mengetahui itu di luar kemampuannya. Maka mulailah untuk menerima kenyataan yang menghampiri diri, dan segera menghilangkan segala penolakan terhadap kenyataan tidak memiliki sesuatu yang diinginkan.

Kedua, berpuasa hati. Inilah resep untuk mengendalikan angan-angan dan keinginan yang tidak pernah surut. Kata seorang bijak, tanpa puasa hati, tak mungkin seseorang bisa berdamai dengan dirinya. Islam mengajarkan qonaah, Rasulullah mencontohkan yaitu senantiasa menerima apa yang menjadi bagiannya. Hati yang berpuasa akan menghilangkan angan-angan. Ia selalu dihiasi perasaan puas dan sering berkata ‘alhamdulillah’…semakin banyak kata ‘alhamdulillah’ yang dikumandangkan semakin luas rasa penerimaan dan rasa syukur dalam dirinya. Itulah yang akan meluaskan dan melapangkan hatinya.

Puasa hati inilah yang akan mengendalikan dirinya berdamai dengan hati. Ia akan menjalani hidupnya dengan ketulusan hati. Maka berdamailah dengan hati hingga berdamai dengan diri sendiri. Jika manusia telah berdamai dengan dirinya maka, ia juga akan berdamai kepada selainnya.Ia akan menebarkan kedamaian yang tidak saja menghiasi dirinya namun juga kepada sekelilingnya. Inilah yang diajarkan rasulullah Muhammad saw. Menjadi manusia rahmatan lil alamin.Insya Allah…

(inspired by mutiara hati, rewrite by denata95)

SEKELUMIT GARAM KEHIDUPAN

PESAN GURU
(DIKUTIP DARI PESAN SANG GURU)

Seorang guru sufi mendatangi seorang muridnya ketika wajahnya belakangan ini selalu tampak murung.

“Kenapa kau selalu murung, nak? Bukankah banyak hal yang indah di dunia ini? Ke mana perginya wajah bersyukurmu?” sang Guru bertanya.

“Guru, belakangan ini hidup saya penuh masalah. Sulit bagi saya untuk tersenyum. Masalah datang seperti tak ada habis-habisnya,” jawab sang murid muda.

Sang Guru terkekeh. “Nak, ambil segelas air dan dua genggam garam. Bawalah kemari. Biar kuperbaiki suasana hatimu itu.

“Si murid pun beranjak pelan tanpa semangat. Ia laksanakan permintaan gurunya itu, lalu kembali lagi membawa gelas dan garam sebagaimana yang diminta.

“Coba ambil segenggam garam, dan masukkan ke segelas air itu,” kata Sang Guru.

“Setelah itu coba kau minum airnya sedikit.” Si murid pun melakukannya. Wajahnya kini meringis karena meminum air asin.

“Bagaimana rasanya?” tanya Sang Guru.

“Asin, dan perutku jadi mual,” jawab si murid dengan wajah yang masih meringis.

Sang Guru terkekeh-kekeh melihat wajah muridnya yang meringis keasinan.

“Sekarang kau ikut aku” Sang Guru membawa muridnya ke danau di dekat tempat mereka.

“Ambil garam yang tersisa, dan tebarkan ke danau.” Si murid menebarkan segenggam garam yang tersisa ke danau, tanpa bicara. Rasa asin di mulutnya belum hilang. Ia ingin meludahkan rasa asin dari mulutnya, tapi tak dilakukannya. Rasanya tak sopan meludah di hadapan mursyid, begitu pikirnya.

“Sekarang, coba kau minum air danau itu,” kata Sang Guru sambil mencari batu yang cukup datar untuk didudukinya, tepat di pinggir danau.

Si murid menangkupkan kedua tangannya, mengambil air danau, dan membawanya ke mulutnya lalu meneguknya. Ketika air danau yang dingin dan segar mengalir di tenggorokannya, Sang Guru bertanya kepadanya,

“Bagaimana rasanya?”

“Segar, segar sekali,” kata si murid sambil mengelap bibirnya dengan punggung tangannya. Tentu saja, danau ini berasal dari aliran sumber air di atas sana . Dan airnya mengalir menjadi sungai kecil di bawah.

Dan sudah pasti, air danau ini juga menghilangkan rasa asin yang tersisa di mulutnya.

“Terasakah rasa garam yang kau tebarkan tadi?”

“Tidak sama sekali,” kata si murid sambil mengambil air dan meminumnya lagi. Sang Guru hanya tersenyum memperhatikannya, membiarkan muridnya itu meminum air danau sampai puas.

“Nak,” kata Sang Guru setelah muridnya selesai minum.

“ Segala masalah dalam hidup itu seperti segenggam garam. Tidak kurang, tidak lebih. Hanya segenggam garam. Banyaknya masalah dan penderitaan yang harus kau alami sepanjang kehidupanmu itu sudah dikadar oleh Allah, sesuai untuk dirimu. Jumlahnya tetap, segitu-segitu saja, tidak berkurang dan tidak bertambah. Setiap manusia yang lahir ke dunia ini pun demikian. Tidak ada satu pun manusia, walaupun dia seorang Nabi, yang bebas dari penderitaan dan masalah.”

Si murid terdiam, mendengarkan.

“Tapi Nak, rasa `asin’ dari penderitaan yang dialami itu sangat tergantung dari besarnya ‘qalbu’(hati) yang menampungnya . Jadi Nak, supaya tidak merasa menderita, berhentilah jadi gelas. Jadikan qalbu dalam dadamu itu jadi sebesar danau.”iii

Farmasi Sebagai Profesi

" Pharmacy : The art or profession of preparing and preserving drugs, and of compounding and dispensing medication according to the...